Mengangkat perjalanan pemimpin negeri dalam sebuah film adalah formula yang berhasil mengajak banyak orang untuk menyaksikan filmnya. Kita ambil contoh Habibie & Ainun, meskipun tidak sepenuhnya biopik tentang presiden Habibie yang sedang membangun negaranya. Tetapi ada romansa cinta antara beliau dengan sang ibu negara yang dicintainya. Menarik penonton hingga 5 Juta penonton dan menjadikan film ini sebagai salah satu film terlaris tahun lalu dan beberapa tahun terakhir.
Hanung Bramantyo, sosok sutradara yang sudah memiliki banyak karya dan ikut andil dalam meramaikan perfilman Indonesia. Film-film miliknya memang bisa dibilang segmented. Ada yang terpuaskan dengan karyanya, dan ada juga yang tidak merasa puas dengan filmnya. Film biopik bukan menjadi hal baru dalam perjalanan karir Hanung Bramantyo. Dalam Sang Pencerah, dia telah mengangkat biopik milik pendiri Muhammadiyah. Maka, tak heran jika akhirnya Hanung Bramantyo ditunjuk menjadi pemimpin untuk mengarahkan sebuah film perjalanan Bung Karno dalam memerdekakan Indonesia.
Seperti kita tahu, Bung Karno adalah sosok yang sangat berjasa dalam negeri ini. Merelakan hidupnya bersusah payah untuk memerdekakan Indonesia. Sudah sering dalam pelajaran Sekolah Dasar, kita mendengarkan cerita-cerita sejarah Soekarno saat berjuang memerdekakan Indonesia. Maka, ceritanya kurang lebih sama dengan pelajaran yang kita dapat. Soekarno (Ario Bayu) saat kecil memiliki nama Kusno. Kusno sering terkena penyakit saat itu hingga akhirnya beliau berganti nama menjadi Soekarno. Soekarno kecil (Emir Mahira) sejak kecil sudah belajar berpidato untuk membakar semangat anak negeri dalam membela penjajah Belanda.
Ketika sudah beranjak dewasa, beliau menikah dengan Inggit (Maudy Kusnaedi). Ketika Belanda sudah mulai dikalahkan oleh negara Nippon atau Jepang, Indonesia semakin sengsara. Banyak sekali pertumpahan darah. Soekarno mencoba untuk mencari cara bagaimana negara Indonesia bisa melepaskan diri dari Jepang. Dengan bantuan dari Moh. Hatta (Lukman Sardi), beliau mencoba untuk memerdekakan Indonesia. Masalah tak hanya datang dari Indonesia dan penjajah saja, Masalah pribadi Soekarno juga memiliki masalah. Dimana, Soekarno mencintai seorang murid dari Bengkulu bernama Fatmawati (Tika Bravani). Hal ini membuat rumah tangganya dengan Inggit berantakan.
Apa yang disajikan oleh Hanung Bramantyo dalam 145 menitnya ini adalah semua rangkuman dari segala bentuk perjuangan dari Soekarno. Kehidupanya saat melawan penjajah Belanda, Jepang, dan juga masalah kehidupannya sendiri. Tetapi, bagaimana Hanung mencoba merangkumkan segala kehidupan milik Bung Karno dalam film biopiknya kali ini terkesan ambisius. Soekarno terjebak dalam penceritaannya yang serba minimalis. Pembangunan suasana yang rasanya terkesan biasa saja. Tidak jelek memang, tetapi akhirnya fokus cerita itu terbagi-bagi. Kurang memberikan suatu yang menggetarkan yang harusnya bisa dibangun dengan baik lagi.
Ketika permasalahan utama film Soekarno sendiri adalah bagaimana susahnya perjuangan dari bung Karno dalam memerdekakan negara Indonesia. Subplot lain yang diselipkan di film ini membuat banyak sekali suasana yang harusnya bisa dijalin kuat akhirnya berjalan biasa saja dengan lemah. First act film inilah yang paling lemah, pengenalan banyaknya konflik kepada penontonnya membuat film ini terkesan terlalu sesak. Sehingga, banyak subplot-nya yang malah terkesan dipaksakan untuk ada. Banyak adegan-adegan yang berjalan ala kadarnya tak lebih dari sekedar penyesak durasi. Bukan untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Soekarno dalam dua era wanitanya.
Bukannya mencari satu fokus cerita yang bisa diceritakan dengan baik, Hanung rasanya terlalu ingin membuat film Soekarno menjadi sebuah cerita undercover dari sosok Soekarno terutama dalam hal wanita dibalik kesuksesannya saat mencapai kemerdekaannya. Film ini seperti menjadi dalam dua babak kehidupan Soekarno dengan dua wanita yang berbeda. Inggit dan Fatmawati. Sayangnya, karakter Inggit muncul begitu saja tanpa cerita pendukungnya. Hingga mungkin, beberapa dialog ditengah film saat konflik antara Soekarno-Inggit muncul cukup membuat bertanya-tanya ada apa sebenarnya antara Inggit dan Soekarno saat dulu terutama bagi penonton yang tidak mengetahui sejarah dibalik perempuan-perempuan milik bung Karno.
Pembagian dua era Soekarno dengan dua wanita yang berbeda ini cukup membuat film ini terasa episodik. Ketika sudah dalam era Soekarno-Fatmawati, sosok Inggit sudah tidak diangkat lagi. Mungkin benar, jika Hanung akhirnya mengurangi kefokusan dalam filmnya. Tetapi, sosok Inggit yang tiba-tiba dimunculkan dalam episode Soekarno-Fatmawati. Meskipun tak ada jalinan kontak langsung, akhirnya menimbulkan rasa penasaran dengan sosok Inggit lebih lanjut. Subplot tentang wanita milik Bung Karno dan problemanya inilah yang mungkin bisa berjalan beriringan tetapi beberapa konfliknya terkesan asal tempel tanpa emosi yang kuat.
Film Soekarno rasanya berjalan straight-forward dengan cara penceritaannya yang terlalu modern. Tanpa ada kekuatan lain yang bisa mengiringi berbagai adegannya yang harusnya bisa disajikan kuat itu. Mungkin paruh ketiga dari Soekarno inilah yang bisa membangun suasana film dengan baik. Suasana proklamasi yang penuh haru biru dan semangat itulah yang mungkin akan disukai oleh banyak orang di filmnya. Tak salah, jika Hanung membuat film ini lebih Pop dengan tujuan agar bisa dinikmati berbagai macam orang.
Film Soekarno berjalan dengan timeline sejarah yang tidak seberapa kentara, membuat film ini semakin pop. Perjalanan Soekarno berjalan dengan begitu saja. Bukan menengok beberapa unsur sejarahnya yang mungkin bisa dijadikan pemuda sebagai cara instan untuk mengetahui beberapa detail sejarah di film ini. Membuat filmnya dapat dicerna segampang mungkin oleh para penonton, Mungkin. Tetapi, Bukankah banyak peristiwa penting di sekitar perjuangan Bung Karno sesungguhnya yang mestinya harus diperhatikan lebih detail lagi?
Apa yang ditakutkan ketika awal trailer filmnya muncul adalah sosok Ario Bayu dalam memerankan Soekarno. Kurang mendapatkan kharismanya saat itu. Tetapi, Ario Bayu ternyata mampu memerankan dan mendapatkan kharisma dari sosok Soekarno. Begitupun dengan jajaran aktor-aktris lainnya. Maudy Kusnaedi, Tika Bravani, Lukman Sardi berhasil memerankan karakternya masing-masing. Kekuatan film Soekarno ada pada performa akting dari para pemainnya. Begitu kuatnya performa dari aktor-aktrisnya tak pelak menjadi sesuatu hal yang bisa diunggulkan dari segala kekurangan film Soekarno sendiri.
Teknisnya, penggunaan tone color vintage yang rasanya digunakan terlalu berlebihan. Rasanya ingin membangun nuansa 40’s di dalam filmnya, tetapi mengurangi brightness dan ketajaman gambarnya itu sendiri. Editing yang mungkin benar tetapi dengan cerita yang jumpy di awal film membuat lemah first act dalam film ini. Belum lagi penggunaan musik yang over the top dan norak. Beberapa bagian akan terasa khidmat jika disajikan dalam keadaan hening. Serta musik saat tentara jepang datang yang dibuat begitu oriental (?)
Beruntung, Soekarno masih memiliki Production Value yang digarap tidak setengah-setengah. Suasana-suasana tahun 40 yang bisa disajikan dengan baik dengan kualitas sinematografi milik Faozan Rizal yang juga bagus. Footage-footage kuno saat era Soekarno diselipkan dalam film ini sebagai penguat rasa nasionalisme dalam filmnya. Adegan 15 Menit terakhir saat akan melakukan Proklamasi akan berhasil membuat semua orang merinding apalagi diperkuat dengan penggunaan Footage Suara asli milik Bung Karno saat pembacaan Proklamasi.
Overall, Soekarno adalah film ambisius milik Hanung Bramantyo yang mencoba untuk merangkum semua peristiwa penting kehidupan Bung Karno. Sayangnya, dengan mencoba merangkum semua cerita sejarah yang ada, malah membuat film ini berjalan seperti biasa dan tidak berhasil membangun suasananya dengan baik. Tetapi, ini adalah film yang tetap wajib untuk ditonton.