Peter Jackson, sekali lagi mengangkat pesona Middle Earth di layar lebar. Dari Trilogi Lord Of The Rings (LOTR), kita bisa tahu bahwa pesona dari universe tersebut memang tidak bisa terelakkan lagi. LOTR sendiri diangkat dari buku milik J.R.R Tolkien dan buku miliknya memiliki satu buku dengan cerita sebelum banyaknya konflik dari LOTR terjadi atau bisa dibilang Prekuel. The Hobbit, buku yang akhirnya diangkat oleh Peter Jackson untuk mengembalikan rasa nostalgia kepada para fans dari Universe Lord Of The Rings.
The Hobbit dibagi menjadi 3 jilid, suatu keputusan yang mungkin bisa dianggap kontroversial memang. An Unexpected Journey sudah dirilis tahun lalu, tahun ini Desolation of Smaug dirilis dan menjadi cerita perjalanan bagian kedua sebelum akhirnya akan melewati garis finish di seri ketiganya There And Back Again yang akan dirilis tahun depan.
Melanjutkan cerita dari An Unexpected Journey, Bilbo Baggins (Martin Freeman) dan para 13 Kurcaci sedang melanjutkan lagi perjalanannya menuju Erebor. Dimana disana dia akan mengambil batu bernama arkenstone. Tetapi, banyak sekali hambatan yang lebih banyak dihadapi oleh Bilbo dan 13 Kurcacinya. Tak hanya berhadapan dengan Orc, dia juga bertemu dengan banyak sekali rintangan. Tak hanya bertemu dengan laba-laba raksasa di hutan Mirkwood.
Mereka akhirnya bertemu dengan Suku Elf yang melucuti senjata mereka yang dipimpin oleh Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lily). Setelah itu, mereka mencoba meloloskan diri dan akhirnya sampai pada Lonely Mountain dan harus berhadapan dengan naga besar bernama Smaug (Benedict Cumberbatch) yang menghancurkan istana milik Dwarves ini.
And the journey begin again.
Di jilid kedua dari The Hobbit ini, Peter Jackson seperti menebus kesalahannya dari seri pertama dari Unexpected Journey. Menelisik dari An Unexpected Journey yang slow-paced menceritakan berbagai latar belakang cerita dari banyak karakter yang ada di film ini dengan detail. Meskipun cerita yang slow-paced itu menurut saya sangat engaging di durasinya yang sangat lama. Sehingga kita bisa menikmati berbagai keindahan milik Middle Earth. Maka, Cerita dari The Desolation of Smaug ini memiliki pace yang cepat meskipun tetap dengan durasi panjangnya yaitu 160 Menit. Yap, dengan buku yang tidak seberapa tebal itu, Peter Jackson membaginya menjadi 3 Jilid dengan masing-masing jilid berdurasi 160 hingga 165 menit.
The Hobbit : Desolation of Smaug akan memuaskan banyaknya penonton umum yang akhirnya menginginkan banyak adegan aksi yang penuh fantasi dengan visual effects yang grande di layar lebar. Sehingga menurut mereka, itu akan membayar lunas tiket yang sudah mereka bayar. The Hobbit memang sejatinya bukan memiliki cerita yang kompleks layaknya Trilogi Lord Of The Rings. Saya menyukai The Hobbit : Desolation of Smaug yang akhirnya memberikan banyak side effects nostalgia dengan universe Lord Of The Rings terlebih pada bagian Kemunculan suka Elf terutama karakter Legolas.
Jika, An Unexpected Journeymengalami pengembangan karkater yang begitu dalam meskipun jatuhnya memiliki cerita yang lambat, maka The Desolation of Smaug memiliki masalah lain. Karakter-karakter di jilid kedua ini masuk terlalu banyak. Sehingga, karakter-karakter yang ada di film ini terkesan masuk tanpa tujuan pasti di dalam filmnya. Para elves yang masuk di dalam The Desolation of Smaug ini pun masih memiliki perkembangan cerita yang akhirnya setengah-setengah.
To be honest, as a audience, Even both of The Hobbit series still makes me mesmerize, but I Choose An Unexpected Journey than The Desolation of Smaug. Cerita yang ada di film ini sedikit memiliki kekacauan yang akhirnya mengurangi intens-nya cerita dari The Hobbit sendiri. Memang, Desolation of Smaug lebih memiliki adegan aksi dengan intensitasnya yang luar biasa. Membuat kita akan duduk tenang dan menyaksikan segala adegan aksi yang divisualkan menarik oleh Peter Jackson. Tetapi sayangnya, a little bit rush comes into the story.
Beberapa subplot cerita yang ada mungkin untuk menambah intensitas dramanya. Tapi sayangnya, hal itu menjadi seperti dipaksakan hanya untuk memenuhi syarat 160 menit durasinya yang lama. Cerita cinta segitiga antara Tauriel, Kili, dan Legolas yang harusnya sepertinya tak adapun tak akan mengurangi atau mengubah esensi ceritanya secara keseluruhan. Banyaknya karakter di film ini tak lantas membuat semuanya memiliki spotlight satu satu dan mendapatkan tugasnya masing-masing.
Ketigabelas kurcaci yang ada di film ini dari awal jilid rasanya tak sampai dekat dengan penonton dan akhirnya mengenal mereka satu-satu. Hanya Thorin, Kili dan Fili yang rasanya mendapat banyak screening time ketimbang yang lain. Begitu pun sosok Bilbo di film ini rasanya juga semakin blur. Karena saya seperti merasakan Peter Jackson akhirnya mencoba untuk memberikan spotlight lebih kepada para elves dan Legolas yang sebenarnya tak mengambil andil yang cukup signifikan kepada isi cerita tersebut.
Disegala kekurangannya itu, rasanya Peter Jackson sudah berusaha untuk mengembalikan kepercayaan para fans universe LOTR dengan The Hobbit jilid kedua ini. Memang, The Hobbit tidak memiliki cerita yang se-kompleks milik LOTR. Tapi, bagaimana Peter Jackson tetap bisa mengeksplorasi dan mengikat penontonnya dalam 160 menit ini patut diacungi jempol. Tetap bisa menikmati setiap menit dalam film ini tanpa merasakan lamanya durasi yang ada di dalam film ini.
Karena Peter Jackson tetap mampu membangun segala tensinya yang pelan-pelan hingga akhirnya memuncak di akhir film dan meninggalkan bekas akhir yang cliffhanger (yang lebih cliffhanger lagi ketimbang An Unexpected Journey). Apalagi dengan visual yang eye-popping ditambah dengan format 3D yang disajikan dalam format HFR atau High Frame Rate(yang tidak disangka ternyata dirilis di Indonesia tanpa pemberitahuan). Serta voice over milik Smaug yang ternyata diisi oleh aktor ternama yaitu Benedict Cumberbatch.
Overall, The Hobbit : The Desolation of Smaug adalah jilid kedua dari cerita Trilogi The Hobbit. Tetap memiliki sebuah cerita yang mengikat dan bagus. Tetapi, sedikit kekacauan menjadi kendala di dalam ceritanya. Beberapa bagian terasa dipaksakan untuk ada meskipun tak mengambil peran penting dalam keseluruhan cerita. Dengan cerita yang lebih fast-paced dan adegan aksi yang pastinya lebih memukau, The Hobbit : The Desolation of Smaug tetap memikat.
The Hobbit memberikan terobosan baru dalam format 3D yang diberikan kepada setiap filmnya. Menggunakan format HFR atau High Frame Rate yaitu 48 Frame Per Seconds yang membuat kita akan merasakan Middle Earth dengan lebih real dan lebih bening. Mari saya rangkumkan.
BRIGHTNESS
Kecerahan The Hobbit : Desolation Of Smaug dalam format 3D terasa lebih gelap. Sehingga tak mendapatkan cerah dan bagusnya middle earth layaknya An Unexpected Journey
DEPTH
Kedalaman yang begitu bagus dan membuat kita akan merasakan Middle-Earth berada di depan mata kita.
POP OUT
Tidak memberikan Pop Out yang signifikan. Meskipun sekalinya Pop Out itu berinteraksi dengan sangat baik dengan penontonnya dan beberapa adegan pop out yang tidak terlalu
gimmicky dan
stay classy
Dengan teknologi mutakhir milik The Hobbit : Desolation of Smaug dalam memberikan experience 3D, rasanya sangat disayangkan jika akhirnya kita memilih format 2D saja saat menikmati setiap menit berada dalam Middle-Earth. Meskipun efeknya, HFR atau High Frame Rate akan memberikan efek pusing yang lebih karena interaksinya yang cukup baik dengan mata penontonnya. Serta menghasilkan gambar sehalus video game dan terasa nyata. Jadi? Kenapa tidak dicoba saja dalam bentuk HFR 3D.