The Hunger Games adalah universe dari penulis Suzanne Collins yang diadaptasi menjadi sebuah film. Film pertama yang ditangani oleh sutradara Gary Ross, mampu menunjukkan sebuah performa yang sangat gemilang. Ketika Gary Ross mengundurkan diri, Francis Lawrence pun ditunjuk menjadi sutradara di film kedua seri ini, The Hunger Games : Catching Fire.
Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mellark (Josh Hutcherson) yang telah menang di pertandingan Hunger Games ke-74 ini pun melakukan tur ke setiap distrik. Banyak sekali pemberontakan yang terjadi. Di tahun ini, Hunger Games ke-75 pun diadakan. Di setiap kelipatan ke 25, biasa disebut Quarter Quell dan akan ada yang spesial di dalam pertandingannya.
Quarter Quell ketiga ini, dimana pemenang dari Hunger Games pertama hingga ke-74 dipertandingkan kembali. Tetapi, tetap dipilih dua perwakilan pemenang dari setiap distrik. Akhirnya, Katniss dan Peeta pun melaju lagi ke dalam Hunger Games kali ini.
Nothing I can say, I give Three Fingers Salute for Francis Lawrence
The Hunger Games trilogi, sebuah universe novel yang menurut saya sangat pintar. Dimana, di setiap masing-masing buku memiliki daya pikatnya masing-masing dalam segi cerita. Saya begitu mencintai buku dari The Hunger Games meskipun saya sempat skeptis ketika film ini akan diangkat menjadi sebuah motion picture. Gary Ross, kala itu adalah sutradara dari film pertama seri ini berjudul The Hunger Games. Sebuah sajian yang begitu baik, sangat baik, membuat saya sebagai pembaca buku sangat terpuaskan saat menonton film dari adaptasi buku ini.
Ketika mengetahui akhirnya Gary Ross mundur dalam proyek film ini dan digantikan oleh Francis Lawrence, saya pun cukup tidak bersemangat. Takut, film keduanya akan mengalami kemerosotan yang begitu jauh dari seri pertamanya. Mengingat, track record dari Francis Lawrence juga tak memiliki sebuah karya yang memiliki kualitas yang signifikan. Ekspektasi sudah saya pasang cukup rendah. Meskipun, hypeyang saya berikan tetap tinggi.
Saya adalah pembaca novel The Hunger Games trilogi, jadi hype yang besar itu tetap saya berikan. Rasa exciteditu tetap meledak-ledak tetapi saya berusaha menurunkan itu. Takut, akan menelan kekecewaan. Hingga ketika film ini rilis pun, ekspektasi saya pun akhirnya saya turunkan. Ternyata, ekspektasi saya yang rendah membuahkan hasil. Ketika akhirnya film ini rilis dan selesai saya tonton, apa yang rasakan hanyalah sebuah perasaan gembira, kagum, terbelalak, gemetar, dan tidak berhenti-hentinya saya mengucapkan kata-kata pujian untuk film ini.
Ekspektasi yang sudah diturunkan itupun sangat dipuaskan. Malah, melampaui ekspektasi saya yang sudah tinggi sebelumnya. Karena sebelumnya, saya masih khawatir dan takut, universe novel yang begitu saya cintai ini harus rusak. Karena The Hunger Games ini menjadi begitu personal bagi saya. Membuat saya yang jarang membaca, akhirnya beruntung pernah mengenal buku ini. Dan inilah, The Hunger Games : Catching Fire yang melaju berada dalam top list best movie untuk tahun ini. Yah, salah satu film terbaik tahun ini.
Kemampuan Francis Lawrence yang awalnya saya ragukan ini ternyata salah. Francis Lawrence berhasil membawakan seri kedua film ini jauh lebih bagus ketimbang seri pertamanya. Seri pertamanya sudah sangat bagus, tapi yang kedua ini jauh lebih bagus. Maka, saya sangat menikmati adegan demi adegan, menit demi menit dari film ini. Sebuah universe yang berhasil direalisasikan dengan begitu baik. Membuat pecinta novel dan juga penikmat film akan sangat terpuaskan oleh hasil akhir yang diberikan oleh Francis Lawrence di seri kedua ini.
Terlihat jelas, bahwa Lionsgate sepertinya sudah sangat percaya dengan proyek trilogi film ini. The Hunger Games : Catching Fire terlihat begitu huge dan mewah. Memang, ini adalah proyek trilogi paling besar yang pernah didanai oleh Lionsgate. Tak salah, jika semua uang yang besar itu diberikan kepada film ini. Karena dana yang besar itu dimaksimalkan dengan sangat baik oleh sang sutradara demi kelangsungan film ini sendiri.
Banyak sekali aspek yang menonjol di film ini, screenplay yang ditulis oleh Simon Beaufoy dan Michael DeBruyn ini mampu menuangkan isi dari novel ini kedalam kata-kata mereka. Itu juga dengan kontrol dari Suzanne Collins yang juga masih ikut campur dalam penulisan naskahnya. Meskipun beberapa bagian didalam novelnya harus ada yang mengalami perubahan, tetapi perubahan itu tak signifikan dan tak begitu mempengaruhi hasil akhir dari film ini. Bisa dibilang, screenplay yang mereka buat ini masih sangat setia dengan novelnya. Jadi, pecinta novelnya akan terpuaskan dengan film ini.
Ibarat para penduduk distrik yang sedang mendukung perjuangan Katniss dan Peeta dengan memberikan Three Fingers Salute, maka Francis Lawrence pun pantas untuk mendapatkan itu. Tidak ada hal yang bisa saya katakan lagi ketika film ini berakhir selain kata-kata pujian. Hanya Three Fingers Salute-lah yang mampu mewakili kesukaan saya kepada Francis Lawrence dan film ini. Terima kasih telah mengangkat universe yang begitu saya cintai ini di dalam sebuah cinematic Experience yang begitu indah dan menggetarkan ini.
Dimana di film The Hunger Games : Catching Fire ini, cerita yang disajikan dituturkan dengan begitu dalam. Dengan tone yang lebih dark ketimbang film pertamanya. Sehingga, Drama yang ada di film ini pun terasa memiliki cerita yang begitu sinis dan lebih depressed. Begitu pula dengan balada cinta segitiga Katniss-Peeta-Galeyang juga terasa gelap. Tidak jatuh menjadi sajian menye-menye seperti Twilight meskipun ada beberapa bagian yang cukup Mehketika cerita cinta ini diangkat. Tetapi, cerita cinta mereka juga menjadi jualan dari trilogi film ini.
Memang, apa yang dititikberatkan di film kedua seri The Hunger Games ini adalah Drama. Sehingga, hampir dari semua ceritanya akan berisi cerita-cerita yang lebih personal dari setiap karakter. Semua karakter sepertinya diberi ruang yang lebih luas untuk digali setiap ceritanya. Sehingga, masing-masing karakter akan terasa dekat dengan penontonnya. Gale, Effie Trinket, Prim Everdeen dan Ibunya juga mendapatkan spotlight dari sang sutradara dan juga penulis skenarionya. Jadi, bagi penonton awam yang butuh hiburan aksi lebih, mungkin akan kecewa atau mungkin terhibur dengan satu jam akhir milik Catching Fire.
Ceritanya yang lebih personal, lebih gelap, dan lebih dalam inilah yang menjadi keunggulan dari film ini. Tak terlalu banyak memiliki adegan-adegan aksi yang menggelegar, tetapi cerita-cerita sebelumnya yang dibangun begitu kokoh itulah yang membuat film ini bagus. Menggambarkan beberapa realita yang ada bahwa penguasa akan selalu mempermainkan rakyatnya yang tidak berdaya. Menjadikannya sebuah boneka yang bisa dimainkan seenaknya. Sentilan-sentilan yang begitu bagus.
Bagusnya lagi, saya yang sudah mengetahui seluk beluk dari cerita di film ini sepertinya dibuat tidak tahu oleh Francis Lawrence. Bagaimana setiap sekuens yang ada di film ini dibuat begitu padat dan disajikan dengan begitu pintar. Rasanya, saya sudah tidak mau membanding-bandingkan film ini dengan bukunya. Toh, itu akan merusak mood saya ketika menonton. Serta, bagaimana twist ending di film ini yang harusnya saya sudah tahu pun disajikan tetap shocking menyaksikannya. Francis Lawrence memang pintar mengolahnya.
The best adapted movie from young-adult books since Harry Potter series
Inilah sebuah film adaptasi dari sebuah novel dengan presentasi mengagumkan. Semenjak Harry Potter series, rasanya belum ada adaptasi novel yang memiliki performa stabil dan bagus. Inilah pengganti Harry Potter series sebagai film adaptasi novel terbaik. Meskipun di seri terakhirnya, Mockingjay, akan dibagi menjadi dua part. Meskipun menurut saya itu tidak terlalu penting, but yeah, money talks, right? Semoga saja Francis Lawrence tahu how to split up a thin book into two part without reduce any essence of the story and manage the emotion too.
Bukan saja memiliki cerita, penyutradaraan, dan penulisan adaptasi yang bagus saja. Mereka memiliki jajaran aktor-aktrisnya yang juga tak kalah bagus. Jennifer Lawrence sebagai katniss. Ah, tak perlu khawatir, rasanya aktris penerima oscar tahun lalu ini masih memerankan karakternya dengan sangat baik. Begitu pula chemistry apik yang dibangun dengan Josh Hutcherson sebagai Peeta. Dan juga wajah bengis dan sinis yang dimiliki oleh Donald Sutherland sebagai Presiden Snow itu tetap juara.
Elizabeth Banks, Woody Harrelson, serta Lenny Kravitz masih mampu menjadi pemanis di film ini. Liam Hemsworth di film trilogi ini memang tak terlihat cukup signifikan dalam aktingnya. Tapi, wibawa yang ada pada Liam ini pas sekali dibawakan saat menjadi sosok Gale. Serta beberapa aktor-aktris tambahan seperti Sam Claflin yang menjadi Finnick Odair yang tangguh tapi tetap charming. Serta jangan lupakan peran Johanna Mason yang cantik dan badass yang mampu diperankan baik oleh Jena Malone.
Segi teknis, film ini memiliki banyak gambar yang ditangkap dengan bagus. DOPmilik Jo Willems ini mampu menangkap gambar-gambar bagus di dalam distriknya. Apalagi ketika penggunaan kamera IMAX di satu jam terakhir film ini yang memiliki setting tempat arena The Hunger Games ke-75 ini. Ditangkap dengan apik, memiliki berbagai detail yang cukup indah untuk dilihat. Akan lebih maksimal lagi, ketika film ini ditonton dalam format IMAX. Sungguh mengagumkan.
Ketika film ini selesai, sebuah adegan penutup milik Katniss memiliki makna yang begitu luas. Saya suka dengan adegan itu. Serta ketika logo mockingjay itu bertransformasi dan mengantarkan kita menuju credit title itu juga Bagus. Iringan soundtrack milik Coldplay dengan judul Atlas yang memiliki suasana tenang rasanya pas sekali untuk iringan credit title yang bergulir. Dan ketika semuanya berakhir, badan terasa gemetar karena perasaan excited yang sudah memuncak hingga ubun-ubun. Iya! Saya harus menontonnya lagi.
Overall, The Hunger Games : Catching Fire adalah sebuah presentasi yang lebih bagus ketimbang film pertamanya. Film pertamanya memang sudah sangat bagus, tetapi ini lebih bagus. Pengarahan yang baik dan juga pintar oleh Francis Lawrence. Inilah film adaptasi novel fantasi yang bagus semenjak Harry Potter. Cant wait for Mockingjay Part 1 and Part 2.