Olahraga adalah kegiatan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Kedua hal tersebut memiliki relasi yang cukup kuat. Film-film dengan tema olahraga sudah mulai banyak dibuat, bahkan di Indonesia film dengan tema olahraga ini sudah cukup berkembang. Mungkin yang sering diangkat untuk menjadi sebuah film adalah olahraga Sepak Bola. Banyak sekali judul-judul yang mengangkat sepak bola sebagai latar belakang masalah mereka.
Di tahun 2014 ini, sebuah olahraga yang sederhana diangkat menjadi sebuah film. Olahraga tersebut adalah Lari. Olahraga sederhana ini mulai booming kembali dan banyak komunitas Lari yang ada di Indonesia. Maka, Delon Tio mengangkat olahraga ini dalam bentuk film dengan judul Mari Lari. Ini adalah debut pertama dari Delon Tio sebagai sutradara setelah sekian lama di industri perfilman, dirinya menjadi seorang produser dan kru lain di belakang layar.
Lari ? Apa yang bisa diangkat untuk dijadikan konflik dalam sebuah film? Toh, olahraga ini tidak memiliki banyak konflik atau intrik. Tak seperti sepak bola yang banyak sekali memiliki sudut pandang cerita sehingga sutradara akan gampang menentukan cerita seperti apa yang akan diangkat dalam sebuah gambar bergerak yang panjang. Maka dalam film Mari Lari, olahraga Lari menjadi suatu metafora tentang mengejar suatu impian.
Mari Lari ini mengisahkan seseorang bernama Rio (Dimas Aditya), anak dari atlit lari Tio (Donny Damara) adalah sosok yang tidak pernah menyelesaikan apapun dalam hidupnya. Dia hanya menjalankan separuh dari apa yang dia mau dari les karate, piano, hingga kuliah hukum yang dipilihnya sendiri. Rio pun meninggalkan rumah karena dirinya tidak menyelesaikan kuliahnya. Hingga suatu saat, ibu Rio, Fitri (Ira Wibowo) harus berpulang, meninggalkan Rio dan ayahnya.
Rio pun kembali ke rumah dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan kuliahnya yang kedua setelah gagal di jurusan Hukum. Rio menemukan undangan marathon di Bromo untuk ayah dan ibunya. Rio berkeinginan untuk mengikuti marathon dengan jarak 42 KM itu. Rio terus berlatih dan bertemu dengan Anisa (Olivia Lubis Jensen) yang juga melatihnya bisa menyelesaikan marathon itu.
Sajian segar dalam film olahraga yang sederhana.
Memberikan suatu film yang bermakna dan inspiratif bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak sekali film-film indonesia yang mengumbar hal inspiratif tapi juga belum tertangani dengan baik. Sesuatu yang inspiratif itu jatuh menjadi sesuatu yang terlalu informatif kepada penontonnya dan belum tentu membuat penonton akan memaknai setiap ceramah lewat dialog dengan baik. Akhirnya, film inspiratif itu banyak yang hanya menjanjikan dan mengumbar tentang hati manusia tetapi digarap setengah hati.
Film inspiratif memang cukup beragam, tapi yang benar-benar memberikan kontemplasi dan menghangatkan hati penontonnnya itu sangat sedikit. Dan Delon Tio berhasil mengarahkan film Mari Lari menjadi salah satu dari film yang berhasil mengangkat hati dan bermakna untuk penontonnya. Memang, Mari Lari tak begitu sempurna karena masih memiliki minor-minor kecil yang mungkin sedikit menganggu.
Kekurangan itu terlebih terjadi pada segi teknis film. Beberapa teknis terlihat memaksakan dan hasilnya output gambar yang terlihat di layar pun beberapa adegan akan terlihat pixelate atau pecah. Serta ada beberapa transisi blackout screen dari satu adegan ke adegan lain yang terasa masih kasar. Kekurangan lain, mungkin dari beberapa product placement yang cukup menganggu. Tetapi, beberapa product placement yang dilakukan juga ada yang masih dikemas bagus.
Minor-minor kecil itu mungkin kita bisa lupakan karena Delon Tio berhasil mengarahkan naskah yang ditulis oleh Ninit Yunita ini dengan sangat baik. Mari Lari tak elaknya adalah sebuah film yang akan menghangatkan hati penontonnya. Mengumbar tentang hati tetapi dibuat dengan sepenuh hati dan itu terasa dari apa yang diarahkan oleh sang sutradara. Film ini akan memberikan makna yang cukup kuat untuk penontonnya. Memberikan sesuatu yang sangat dekat dengan penontonnya.
Cerita yang diberikan pun sederhana dan tidak mengekspos kesedihan yang berlebihan, dan itu sering terjadi dalam film-film dengan tema serupa. Beberapa dialog mungkin akan terdengar sedikit preachy. But at some point, dialog tersebut malah akan mengena untuk penontonnya. Mari Lari akan memberikan sebuah renungan untuk penontonnya, apakah kalian sudah pernah menyelesaikan sesuatu terhadap hidup kalian? Apakah kalian sudah membuat orang di sekitar kaian, terlebih orang tua kalian puas atau bangga dengan apa yang kalian kerjakan?
Pertanyaan-pertanyaan itu akan dilontarkan secara implisit oleh film ini dan tentu akan membuat penontonnya merenung sekaligus terenyuh dengan film ini. Delon Tio benar-benar mengarahkan Mari Lari dengan begitu kuat, sehingga apa yang sang sutradara ingin coba sampaikan kepada penontonnya benar-benar berhasil tersampaikan hingga menusuk hati penontonnya. Akan menginspirasi penontonnya tanpa mencoba untuk menggurui dan berceramah panjang lebar. Akan menyentuh penontonnya tanpa mencoba untuk terlalu mengekspos kesedihan cerita dari filmnya.
Beberapa adegan akan informatif tetapi dikemas dengan menarik misal informasi tentang sebuah marathon. Pendekatan yang digunakan oleh sang sutradara sungguh menarik sehingga dengan cara seperti itu informasi yang disampaikan pun efektif dan memorableuntuk penontonnya. Hal yang segar pun juga datang dari teknis filmnya. Menceritakan masa lalu karakter utama pun dengan pendekatan yang sangat menarik, singkat, dan efektif. Juga sinematografi dengan pengambilan angle yang cukup unik apalagi adegan kulkas itu. Juga diiringi dengan musik dan soundtrack yang cantik.
Cerita-cerita yang kuat itu pun terjadi karena bagaimana akting dari para pemainnya yang bermain dengan pas. Terlebih Dimas Aditya dan Donny Damara yang mempunyai chemistry yang baik dari awal film. Mereka sangat baik merepresentasikan hubungan ayah-anak yang saling menyayangi meskipun terlihat dingin satu sama lain. Begitu pun dengan Olivia Jensen yang bisa mengimbangi akting Dimas Aditya sehingga tidak terasa berat sebelah.
Overall, Mari Lari adalah salah satu film yang digarap dengan sangat baik oleh sineas Indonesia untuk tahun ini. Film yang akan menginspirasi tanpa perlu menceramahi penontonnya serta akan menghangatkan dan menyentuh hati penontonnya tanpa perlu ekspos berlebihan tentang kesedihan. Film olahraga yang fresh dan menyenangkan untuk diikuti. Tentu, ini dibuat dengan sepenuh hati dan cinta. Good!