Menceritakan ulang sebuah kejadian penuh sejarah memang sering terjadi dan sering digunakan di Industi perfilman di seluruh dunia. Tetapi, bagaimana tambahan cerita-cerita fiksi dan lain hal sebagainya, mungkin Hollywood yang lebih jago. Mereka tetap memberikan satu cerita dasar di dalam sebuah film yang mereka garap yang setidaknya mengikuti apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata. Tetapi, bagaimana kejadian bersejarah itu bisa memberikan nilai jual kepada industri perfilman ini, akhirnya para sineas memberikan bumbu konflik fiksi yang bisa dijadikan alternatif hiburan sekaligus setidaknya menjadi medium penontonnya untuk mengetahui kejadian bersejarah itu.
Salah satu kota di wilayah Italia yang menjadi salah satu kota kuno di Roma, Pompeii memiliki salah satu kejadian bersejarah di abad pertama. Dimana, gunung Vesuvius di kota Pompeii mengalami erupsi. Hal ini mengusik sutradara Paul W.S. Anderson yang mengangkat hal tersebut menjadi satu film kolosal yang akan menarik penonton setelah dirinya pernah mengangkat ulang tiga ksatria dalam The Three Musketeers dan mendapat kritik beragam.
Menggunakan judul Pompeii dengan landasan kisah kota yang disadurnya ini terfokuskan pada sosok pemuda asal Celtic yang selamat saat pembantaian yang dilakukan kekaisaran Romawi, Milo (Kit Harrington) yang akhirnya menjadi seorang Gladiator. Dirinya pun dibawa ke kota Pompeii untuk menghadiri sebuah Festival perayaan yang sedang diadakan oleh kota tersebut. Disaat itu pula, seorang putri raja Pompeii, Cassia (Emily Browning) tiba-tiba jatuh cinta dengan sosok pemuda itu begitupun dengan Milo.
Ketika festival itu berlangsung, Milo bertemu dengan petingga Roma yang pernah membantai seluruh kaumnya itu, Corvus (Kiefer Sutherland), sang petinggi Romawi yang juga memiliki sifat ambisius. Disaat festival itu berlangsung, gunung Vesuvius mengalami erupsi dan meluluhlantakkan semua perkampungan di kota Pompeii. Milo pun berusaha untuk menyelamatkan Cassia, gadis yang dicintainya.
In Paul W.S. Anderson We (don’t) Trust
Terlihat dalam sinopsis cerita, beberapa pengembangan cerita fiksi dan mengulik satu cerita percintaan antara seorang budak dengan putri raja ini menjadi satu frontrunner cerita yang akan dikulik lebih lagi. Sebagai salah satu faktor jual yang mungkin akan menarik minat penonton selain satu basic cerita “Based on true events” yang juga menjadi salah satu gimmick marketing yang ditawarkan oleh film ini.
Sah-sah saja untuk mesin pengeruk penambahan cerita fiksi dalam sebuah kejadian bersejarah di dalam sebuah film sebagai jualan. Tetapi, bagaimana cerita fiksi itu diolah dengan baik, itulah hal yang patut dipertanggungjawabkan di dalam memberikan intrik menarik di dalam film. Pompeii memberikan satu line cerita menarik sebagai tambahan. Tetapi pengemasan kisah-kisah fiksi dalam film Pompeii tidak diperhatikan lagi oleh Paul W.S. Anderson saat mempresentasikan proyek mega budget ini.
Tetapi, apa yang diharapkan saat menyaksikan satu film garapan Paul W.S. Anderson? Satu film penuh dengan intrik menarik dengan kualitas di atas rata-rata yang digarap dengan sepenuh hati? Jangan. Jangan harapkan apa-apa saat menyaksikan film garapan sutradara satu ini. Masih ingatkah Resident Evil : Retributionyang menjadi presentasi film terburuk 2 tahun silam? Begitupun dengan Pompeii, memang tidak seburuk Resident Evil secara keseluruhan tetapi bagaimana cerita dari Pompeii tidak bisa diarahkan dengan baik dan lebih terkesan style over substance but in bad way.
Bagaimana satu jam awal dari Pompeii sangat lemah dalam menunjukkan banyak pengembangan karakter-karakter penting. Paul W.S. Anderson memang lebih dikenal lebih bisa mengadakan satu sajian film non-stop aksi dengan begitu baik, tetapi sayangnya, sajian hiburan aksi tanpa henti saja tidak cukup dalam sebuah film. Pompeii benar-benar berantakan dalam menuturkan semua cerita untuk menguatkan konflik dalam filmnya. Semua konflik dan semua cerita-cerita pendukung yang sudah ditulis Janet Scott Bachler ini diarahkan seadanya sehingga tidak ada satu jalinan kisah yang kuat untuk mendukung 40 menit akhir penuh aksi yang menghibur itu.
Cerita pun terasa terbagi-bagi dan tidak matang. Cerita tercampur antara pembalasan dendam Milo kepada kekaisaran Romawi dengan cerita cinta yang tiba-tiba datang dengan begitu mudahnya antara Cassia dan Milo. Ingin lebih menonjolkan satu kisah cinta tragis di balik kejadian Pompeii yang mengerikan tetapi belum terlaksana dengan baik. Konsentrasi Paul W.S. Anderson dalam mengarahkan film ini pun terpecah-pecah sehingga dua konflik itu pun timbul dan tenggelam dengan mudahnya dan terkadang terdistraksi dengan konflik-konflik kecil sehingga dua main conflict itu semakin blur dengan sendirinya.
Akhirnya, babak penyelesaian pun terkesan tergesa-gesa. Konflik-konflik utama yang sudah mulai terdistraksi itupun muncul dengan cara yang tiba-tiba. Diselesaikan dengan begitu instan meskipun dikemas dengan aksi non-stop yang akan memanjakan para penontonnya. Babak dimana gunung Vitruviusmeletus itulah dimana Pompeii sudah mulai bisa dinikmati dan sayangnya itu terletak pada 40 menit akhir film ini. Dengan itulah konflik-konflik yang dituturkan begitu lemah pun ditutupi oleh sajian aksi penuh efek visual menarik yang akan membuat penontonnya melupakan banyak segala lubang-lubang yang ada di dalam film Pompeii ini.
Kesalahan pun terjadi pada skenario garapan Janet Scott Bachler. Banyak sekali barisan-barisan dialog yang terkesan dangkal. Sehingga penonton sedikit banyak akan merasakan kurangnya koneksi dengan dua lakon utama dalam film ini yaitu Cassia dan Milo yang sedang jatuh cinta dalam pandangan pertama. Anehnya lagi, cinta antara mereka berdua terkesan magis and its like no one can refuse their love bahkan strata sosial yang diperkarakan antara mereka berdua pun terkesan terabaikan. Apalagi film ini ber-setting-kan zaman dulu yang notabene orang-orangnya benar-benar memperhatikan strata sosial dalam menjalin hubungan. Begitu pun dengan chemistrymereka yang kurang memberikan energi yang baik bagi kelangsungan cerita yang sudah mulai tertatih dalam perjalanannya.
Overall, Pompeii bukanlah presentasi terburuk milik Paul W.S. Anderson. Kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan dalam film Resident Evil setidaknya sedikit membaik di film Pompeii. Tetapi sayangnya, bagaimana W.S. Anderson memperlakukan cerita-cerita yang penting dalam film ini dengan kurang baik cukup memberikan efek negatif yang signifikan dalam kelangsungan cerita film ini. Tetapi, sajian aksi dengan visual efek yang menghibur cukup memanjakan para penontonnya meskipun untuk ukuran film dengan budget $ 100 M ini bisa dibilang kurang. Don’t expect too much in W.S. Anderson.