Harry Potter, The Twilight Saga, The Hunger Games trilogy adalah beberapa contoh dari banyaknya novel-novel best seller yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk diadaptasi menjadi sebuah motion picture di layar lebar. 3 buku yang disebutkan di atas tersebut adalah contoh adaptasi buku yang sukses dari segi finansial. Hal tersebut menjadi daya tarik para rumah produksi untuk mengadaptasi beberapa buku untuk dijadikan sebuah film. Ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang akhirnya gagal dalam mempertahankan satu episode pilot dari banyaknya seri buku yang diadaptasinya.
Banyak orang akan menganggap, buku karangan Richelle Mead ini meniru buku milik Stephenie Meyer. Mungkin, mereka mengangkat satu karakter yang sama tetapi dengan jalinan cerita berbeda. Mengangkat sosok makhluk penghisap darah tetapi dengan konsentrasi yang berbeda. Twilight, mungkin akan unggul dalam segala romantisme antara vampir dan manusia dengan segala suasana menye-menye yang sangat kental. Maka, berbeda dengan buku milik Richelle Mead berjudul Vampire Academy ini.
Vampire Academy lebih mengarah kepada petualangan antara Rose (Zoey Deutch) seorang Dhampir, sosok yang bertugas untuk melindungi vampir Moroi bernama Lissa Dragomir (Lucy Fry). Mereka kabur dari Akademi St. Vladimir tempat mereka bersekolah. Lissa ternyata memilki sebuah kekuatan unik yang dapat mengundang banyak vampir Strigoi, vampir penghisap darah yang sering berkeliaran di saat malam hari.
Lissa dapat menyembuhkan seseorang yang terluka dan orang yang telah mati. Suatu saat, Lissa benar-benar terancam. Tugas Rose adalah melindungi Lissa dari setiap serangan yang ada. Tetapi, keadaan itu tidak lancar-lancar saja. Karena mereka tidak hanya menghadapi satu masalah serius tetapi juga harus menghadapi kejamnya teman-teman sekolah yang doyan bullying Lissa dan Rose.
Cheesy vampire chick-flick
Vampire Academy kali ini diarahkan oleh Mark Waters, sutradara yang membuat satu film remaja fenomenal kala itu, Mean Girls. Sebuah premis cerita yang tepat jika Mark Waters mengarahkan makhluk penghisap darah yang sedang mengalami pubertas ini untuk menghadapi kejamnya teman-teman sekolahnya. Tema dari Vampire Academy sendiri memang memiliki kemiripan dengan Mean Girls yang menjadi salah satu teen-flick yang terkenang sepanjang masa.
Akademi atau sekolah, Perempuan, Geng, Populer dan tidak populer adalah formula yang tepat untuk mengulang kembali Mean Girls dengan taring ini. Mark Waters pun menginginkan nuansa Mean Girls hadir dalam Vampire Academy. Mungkin akan banyak sekali adegan-adegan cheesy dalam bullying ala kehidupan remaja. Tetapi sayangnya, Vampire Academy hadir dengan banyak sekali dengan kekurangan sana-sini yang membuat film ini kacau dan tidak bisa mengemas adegan cheesytersebut. Vampire Academy terlihat terengah-engah dalam menuturkan kisahnya dan terlihat sangat berusaha untuk memikat penontonnya.
Film ini memang memiliki banyak sekali nada-nada yang sama dengan Mean Girls. Segala penuturan pop-nya yang terlihat asik dan menarik yang akan membuat film ini akan menjadi satu jalinan kisah chick-flick yang smart. Tetapi sayangnya, Richelle Mead, selaku penulis buku Vampire Academy dan juga penulis skenario untuk filmnya ini tidak bisa memikat penontonnya dengan line-linedialog pintar yang membuat penontonnya tertawa saat menyaksikan film ini. Mungkin masih ada beberapa komedi satir yang menyindir beberapa referensi. Tetapi, hanya beberapa saja karena masih banyak dialog yang akhirnya missed untuk mengundang tawa bagi penontonnya.
Tak hanya saja kuwalahan dalam memberikan komedi-komedi fresh dan cerdas. Tetapi, bagaimana Vampire Academy akhirnya juga kuwalahan dalam memberikan kisah menarik yang tidak melelahkan untuk diikuti. Banyak sekali kendala yang harus dihadapi oleh Richelle Road dalam menuturkan kisah yang ada di dalam bukunya menjadi gambar bergerak dengan durasi 100 menit. Cerita tersebut terasa draggy saat dipresentasikan di dalam film. Tarik ulur sana-sini dengan tensi yang juga semakin mengendur ketika durasi film juga ikut bertambah. Mungkin paruh awal film ini setidaknya masih enak diikuti. Tetapi, semakin lama film ini semakin melambat dan melelahkan untuk diikuti.
One-punch-line yang juga sering dilantunkan di awal film hingga ketika film ini memasuki paruh kedua, line-line smart itu menghilang digantikan dengan beberapa dialog yang biasa-biasa saja. Mungkin konsentrasi Mark Waters teralihkan dengan konflik dari Vampire Academy yang disadur dari bukunya itu tetapi tetap mempertahankan citarasa Mean Girls di dalam filmnya. Banyak sekali hal-hal yang menarik yang harusnya bisa membuat Vampire Academy ini menarik. Banyak karakter-karakter seperti Dhampir, Strigoi, Moroi yang harusnya bisa diulik lebih lagi agar lebih menarik.
Serta bagaimana Vampire Academy ini tidak mengusung romance menye-menye yang berlebihan dan lebih mengulik petualangan memberantas keganjilan yang ada di kehidupan Rose dan Lissa selama di Akademi St. Vladimir. Melihat banyaknya potensi-potensi yang harusnya bisa membuat film ini bisa lebih menarik tetapi disia-siakan begitu saja. Apalagi usaha Mark Waters yang ingin membuat film ini menjadi chick-flick makhluk penghisap darah dengan gaya arahannya yang khas itu.
Akhirnya Vampire Academy menjadi salah satu dari banyak deretan film adaptasi buku yang gagal lainnya. Melihat bagaimana ending dari film ini, sepertinya Mark Waters masih memberikan harapan bagi para penggemar buku dari Vampire Academy untuk menyaksikan sekuel dari buku yang terdiri dari 6 seri ini. Tetapi, bagaimana kualitas dan juga kuantitas tetap berbicara. Sepertinya sangat susah untuk Vampire Academy agar mendapatkan slot lagi untuk film kedua yang disadur dari buku kedua milik Richelle Mead ini.
Overall, Vampire Academy memiliki banyak sekali potensi untuk menjadi film chick-flick yang segar dan menarik. Sayangnya, Richelle Mead kurang memberikan inovasi dalam menyindir referensi sana-sini dan mengundang tawa penontonnya. Cerita yang mulai draggy, adegan-adegan cheesy dan masih banyak sekali sisi minor yang menghiasi perjalanan Vampire Academy dalam menuturkan ceritanya. Menantikan seri kedua? Well, Don’t lose faith but be logic.